Beberapa alasan bahwa
kualitas pendidikan yang rendah adalah diakibatkan oleh adanya diskriminasi
gender dalam dunia pendidikan. Ada tiga aspek permasalahan gender dalam
pendidikan yaitu:
·
Akses
·
Akses merupakan fasilitas pendidikan yang sulit
dicapai. Banyak sekolah dasar di tiap-tiap kecamatan namun untuk jenjang
pendidikan selanjutnya seperti SMP dan SMA tidak banyak. Tidak setiap wilayah
memiliki sekolah tingkat SMP dan seterusnya, hingga banyak siswa yang harus
menempuh perjalanan jauh untuk mencapainya. Di lingkungan masyarakat yang masih
tradisional, umumnya orang tua segan mengirimkan anak perempuannya ke sekolah
yang jauh karena mengkhawatirkan kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu banyak
anak perempuan yang ‘terpaksa’ tinggal di rumah. Belum lagi beban tugas rumah
tangga yang banyak dibebankan pada anak perempuan membuat mereka sulit
meninggalkan rumah. Akumulasi dari faktor-faktor ini membuat anak perempuan
banyak yang cepat meninggalkan bangku sekolah.
·
Partisipasi
·
Aspek partisipasi di dalamnya mencangkup faktor bidang
studi dan statistik pendidikan. Dalam masyarakat kita di Indonesia, dimana
terdapat sejumlah nilai budaya tradisional yang meletakkan tugas utama
perempuan di arena domestik, seringkali anak perempuan agak terhambat untuk
memperoleh kesempatan yang luas untuk menjalani pendidikan formal. Sudah sering
dikeluhkan bahwa jika sumber-sumber pendanaan keluarga terbatas, maka yang
harus didahulukan untuk sekolah adalah anak laki-laki. Hal ini umumnya
dikaitkan dengan tugas pria kelak apabila sudah dewasa dan berumah-tangga,
yaitu bahwa ia harus menjadi kepala rumah tangga dan pencari nafkah.
·
Manfaat dan penguasaan
·
Kenyataan banyaknya angka buta huruf di Indonesia di
dominasi oleh kaum perempuan. Pendidikan tidak hanya sekedar proses
pembelajaran, tetapi merupakan salah satu ”narasumber” bagi segala pengetahuan
karenanya ia instrumen efektif transfer nilai termasuk nilai yang berkaitan
dengan isu gender. Dengan demikian pendidikan juga sarana sosialisasi
kebudayaan yang berlangsung secara formal termasuk di sekolah.
x
Pendidikan tidak hanya
sekedar proses pembelajaran, tetapi merupakan salah satu ”narasumber” bagi
segala pengetahuan karenanya ia instrumen efektif transfer nilai termasuk nilai
yang berkaitan dengan isu gender. Dengan demikian pendidikan juga sarana
sosialisasi kebudayaan yang berlangsung secara formal termasuk di sekolah.
Murid laki-laki dan
perempuan dapat memiliki pengalaman yang berbeda pada saat mereka belajar di
kelas. Hal ini dapat mempengaruhi berbagai faktor seperti tingkat partisipasi
di kelas dan pencapaian hasil belajar. Nilai sosial dan budaya dan stereotip
gender dapat dengan tidak sengaja terjadi di dalam kelas dan di sekolah melalui
interaksi antara guru dan murid maupun diantara murid.
Pendekatan mengajar dan
metode yang digunakan dalam mengajar, menilai, dan berinteraksi dengan murid
bisa menjadikan murid laki-laki sebagai favorit ketimbang murid perempuan. Hal
ini berhubungan dengan kebiasaan di Indonesia di mana murid perempuan sering
tidak didorong untuk berbicara di depan umum untuk menyatakan opini mereka atau
mempertanyakan otoritas yang sebagian besar di bawah kendali laki-laki.
Perilaku yang tampak
dalam kehidupan dalam kehidupan sekolah interaksi guru-guru, guru-murid, dan
murid-murid, baik di dalam maupun luar kelas pada saat pelajaran berlangsung
maupun saat istirahat akan menampakkan konstruksi gender yang terbangun selama
ini. Selain itu penataan tempat duduk murid, penataan barisan, pelaksanaan
upacara tidak terlepas dari hal tersebut. Siswa laki-laki selalu ditempatkan
dalam posisi yang lebih menentukan, misalnya memimpin organisasi siswa, ketua
kelas, diskusi kelompok, ataupun dalam penentuan kesempatan bertanya dan
mengemukakan pendapat. Hal ini menunjukkan kesenjangan gender muncul dalam
proses pembelajaran di sekolah.
Pada kasus
ketidakpemerataan gender yang terdapat pada dunia pendidikan Indonesia ini
mencerminkan mendarahdagingnya teori Nurture. Teori gender ini dicetuskan
pertama kali oleh John B. Watson pada tahun 1925 (catilla.wordpress.com).
Menurut teori ini adanya perbedaan perempuan dan laki-laki adalah hasil dari
konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda.
Perbedaan tersebut yang membuat perempuan tertinggal dan terabaikan.
Kontribusi sosial
menempatkan perempuan dan laki-laki diidentikkan dengan kelas borjuis, dan
perempuan sebagai kelas proletar. Seperti halnya pada masyarakat kita, secara
tidak langsung kesalahan gender yang terjadi sekian abad silam menjadi
membudaya. Mulai dari zaman prasejarah yang menganggap bahwa perempuan sebagai
makhluk yang lemah, sehingga tugasnya hanya meramu dan menjaga anak. Dan dewasa
ini perempuan masih juga di subordinasikan sebagai perempuan yang kurang mampu
mengemban tugas yang dirasa berat, dikarenakan perempuan lebih cenderung lebih
memakai perasaannya dibanding dengan logika.
Dalam proses
perkembangannya, disadari bahwa ada beberapa kelemahan konsep nurture yang
dirasa tidak menciptakan kedamaian dan keharmonisan dalam kehidupan berkeluarga
maupun bermasyarakat. Yaitu terjadi ketidakadilan gender, maka beralih pada
teori nature(Teori nature memandang perbedaan
psikologis antara perempuan dan laki-laki disebabkan oleh faktor-faktor
biologis kedua jenis kelamin tersebut).
Adanya ketidak-adilan
gender dalam berbagai kehidupan lebih banyak dialami oleh perempuan, namun
berdampak pula terhadap laki-laki. Hal ini sejalan dengan Marhaeni Tri
(2011)menyatakan bahwa suatu system dan struktur yang disengaja atau tidak
disengaja diciptakan oleh laki-laki dan untuk laki-laki. Karena masalah gender
adalah masalah tentang sosial yang harus dibicarakan olah pihak perempuan
maupun laki-laki.
Merujuk pada teori
Nurture dan jika dikaitkan dengan fenomena pendidikan di Indonesia saat ini,
sangat nampak dengan jelas bahwa pemikiran kolot yang bersarang
pada persepsi manusia Indonesia tentang perbedaan kelas yang dimiliki oleh kaum
laiki-laki dan perempuan masih susah untuk dihilangkan. Dengan masuknya ke
dalam sistem pendidikan, hal ini menimbulkan ketakutan apabila siswa yang
membaca buku-buku dengan persepsi ini, lalu ilmu tersebut merasuk dan bersarang
dipikiran mereka, maka persepsi ini tentu saja akan semakin melekat dan
berturun kepada generasi-generasi berikutnya sehingga ketimpangan gender ini
tidak akan pernah pudar
Komentar
Posting Komentar